Nasakh ada empat bagian:
Pertama, nasakh Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat tentang 'iddah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana akan dijelaskan contohnya.
Kedua, nasakh Al-Qur'an dengan As-Sunnah. Nasakh ini ada dua macam:
A. Nasakh Al-Qur'an dengan hadits ahad. Jumhur berpendapat, Al-Qur'an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Al-Qur'an adalah mutawatir dan menunjukkan keyakinan, sedang hadits ahad itu zhanni, bersifat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma'lum (jelas diketahui) dengan yang mazhnun (diduga).
B. Nasakh Al-Qur'an dengan hadits mutawatir. Nasakh semacam ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman,
æóãóÇ íóäúØöÞõ Úóäö Çáúåóæóì (3) Åöäú åõæó ÅöáøóÇ æóÍúíñ íõæÍóì (4) [ÇáäÌã : 3 ¡ 4]
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)." (An-Najm: 3-4)
Dan firman-Nya pula,
æóÃóäúÒóáúäóÇ Åöáóíúßó ÇáÐøößúÑó áöÊõÈóíøöäó áöáäøóÇÓö ãóÇ äõÒøöáó Åöáóíúåöãú [ÇáäÍá : 44]
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." {An-Nahl: 44}
Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.
Dan Imam Asy-Syafi'i, Zhahiriyyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak
nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah,
ãóÇ äóäúÓóÎú ãöäú ÂíóÉò Ãóæú äõäúÓöåóÇ äóÃúÊö ÈöÎóíúÑò ãöäúåóÇ Ãóæú ãöËúáöåóÇ [ÇáÈÞÑÉ : 106]
"Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya." (Al-Baqarah: 106)
Ketiga, nasakh As-Sunnah dengan Al-Qur'an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As-Sunnah dan di dalam Al-Qur'an tidak terdapat pula dalil yang menunjukkannya. Ketetapan ini dinasakhkan oleh Al-Qur'an dengan firman-Nya:
Ýóæóáøö æóÌúåóßó ÔóØúÑó ÇáúãóÓúÌöÏö ÇáúÍóÑóÇãö [ÇáÈÞÑÉ : 144]
"Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram." (Al-Baqarah: 144).
Kewajiban puasa pada hari 'Asyura' yang ditetapkan berdasarkan Sunnah, juga di
nasakh oleh firman Allah:
Ýóãóäú ÔóåöÏó ãöäúßõãõ ÇáÔøóåúÑó ÝóáúíóÕõãúåõ [ÇáÈÞÑÉ : 185]
"Maka barangsiapa menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia berpuasa…." (Al-Baqarah: 185).
Tetapi
nasakh versi ini pun ditolak oleh Imam Syafi'i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang ditetapkan Sunanh tentu didukung oleh Al-Qur'an, dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur'an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Al-Qur'an dan Sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
Keempat, nasakh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1)
nasakh mutawatir dengan mutawatir; 2)
nasakh ahad dengan ahad, 3)
nasakh ahad dengan mutawatir, dan 4)
nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya
nasakh Al-Qur'an dengan hadits ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun me
nasakh ijma' dengan ijma' dan qiyas dengan qiyas atau me
nasakh dengan keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkannya.
Sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an,Syaikh Manna' Al-Qaththan, Pustaka al-Kautsar, Hal. 291-293